Story of Afi Nihaya Faradisa: Bermain Api di Dunia Maya (Bag.2)



Asa Firda Inayah, sosok sesungguhnya di balik akun fenomenal Afi Nihaya Faradisa, merupakan pribadi yang dikenal sebagai pendiam dan dijauhi temannya di sekolah. Mulanya, pergaulannya dengan teman-temannya sama seperti remaja pada umumnya. Hingga beberapa peristiwa dalam hidupnya mengubah sikap dan perilakunya, termasuk perilaku teman-teman terhadapnya. Baca dulu: Story of Afi Nihaya Faradisa: Terkenal di Media, Terkucil di Sekolah (Bag.1)

Sejak sering menyendiri, Asa menyibukkan dirinya dengan telepon pintar. Meski tergabung dalam organisasi di sekolah, Asa tak aktif bergaul dengan temannya. “Di organisasi pun dia sering sendiri. Dia itu penyendiri, kalau lagi sama teman-temannya dia pun sendiri. Kalau lagi sendiri itu dia main HP,” kata Priscalita Damayanti, seorang sahabat dekat Asa.

Kepada Prisca, Asa pernah menuturkan bahwa sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP) ia menjalani semacam terapi. Terapinya itu ia tuangkan dalam bentuk menulis. Alasannya, karena dia merasa tak terlalu sering berbicara. Lama kelamaan, pekerjaan menulis menjadi hal mudah baginya. Kebisaan menulis itu pula yang membuat Asa terlibat dalam tim buletin sekolah yang terbit setiap bulan.

Semenjak dijauhi rekan-rekannya, hari-hari Asa pun disibukkan dengan aktifitas di media sosial, terutama di Facebook. Mulanya, di media sosial itu dia menggunakan nama akun sesuai dengan nama aslinya. Namun, belakangan dia mengganti nama akunnya dengan nama anagram, Afi Nihaya Faradisa. Asa pernah mengatakan alasan ditutupnya akun asli dan menggantinya dengan nama baru karena tulisan-tulisan yang diunggah pada akun lama kurang mendapat respon dari pengguna media sosial lainnya.

Perubahan nama akun itu pun menjadi perhatian teman-teman di sekolah. Mereka menganggap perubahan nama akun di sosial media itu merupakan cara Asa untuk menghindar. “Teman sekelas bilang ‘kok dia menghindar sih,” kata Prisca.

Bergabung dengan kelompok atheis

Keasyikannya di dunia maya membuat Asa bertemu dengan orang-orang dengan beragam pemikiran. Ada orang-orang liberal, penganut paham sekular, bahkan orang-orang yang tak percaya Tuhan alias atheis. Hal itu diungkapkan oleh guru pembina Rohis di SMA Negeri 1 Gambiran, yang kerap menjadi teman diskusi bagi Asa.

Sosok guru yang enggan disebut namanya itu sudah lama menjadi tempat Asa mencurahkan perasaan dan pikirannya. Kepada sang guru, Asa mengaku bahwa ia menjadi salah satu admin di grup Facebook bernama Indonesian Hoaxes, grup yang kerap membongkar informasi-informasi palsu di dunia maya. Belakangan, Asa pun pernah membuat pengakuan tentang menjadi admin di grup tersebut di akun Facebooknya.

Sebelum tulisannya di Facebook viral, Asa termasuk siswa yang aktif mengikuti kegiatan keislaman di Rohis. Guru pembina Rohis itu mengungkapkan Asa kerap berdiskusi perihal agama dengannya. Pernah suatu ketika saat masih duduk di kelas XI dia menanyakan bagaimana jika ada seorang Muslim beribadah dengan cara yang tak sama dengan Muslim pada umumnya melainkan punya cara sendiri dalam beribadah. Terpenting baginya berbuat baik saja.

“Terus saat itu saya bilang ya tidak bisa, syaratnya diterima amal dua, niat ikhlas sama caranya (sesuai tuntunan, red),” kata guru itu kepada Asa.

Asa pun tak terima dengan jawaban sang guru. Ia malah mempertanyakan keadilan Allah Swt. “Berarti tidak dapat surga, Bu? Kok bisa, Bu? Berarti Allah tidak adil,” kata Asa, sebagaimana diungkap guru itu.

Sang pembina Rohis itu pun menyatakan bahwa ia pernah diberitahu oleh Asa tentang teman-temannya di dunia maya. Beberapa nama di antaranya tergabung di grup Indonesian Hoaxes. Salah satu nama yang disebut Asa adalah Jackson Leonardy Firdaus. Penelusuran yang dilakukan Kiblat.net, menemukan fakta bahwa pemilik akun ini pernah dicari-cari warganet terkait dugaan kasus penipuan.


Sudah diperingatkan

Saat melihat tulisan di akun teman-teman Asa, sang guru telah mencoba untuk memperingatkan siswanya agar tidak ‘bermain api’ di dunia maya. Pasalnya, menurut sang guru dalam status orang yang disebut teman oleh Asa terdapat pandangan-pandangan yang menolak adanya keberadaan Tuhan. Namun, Asa malah memuji-muji teman-teman dekatnya di dunia maya itu di depan gurunya tersebut. “Cerdas bu mereka itu. Mereka itu kritis,” kata sang guru menirukan perkataan Asa.

Saat ditemui Kiblat.net di kediaman Asa, ia pun mengaku bahwa dia merupakan bagian dari Indonesian Hoaxes. Dia dengan tegas mengatakan berteman dekat dengan ketua komunitas Masyarakat Anti Hoax Indonesia (Mafindo). “Teman baik saya itu adalah ketuanya Mafindo, Masyarakat Anti Hoax Indonesia,” ujar Afi.

Terkait tulisannya, Asa mengaku mendapat inspirasi dari banyak pihak termasuk dari grup atheis. “Kalau komunitas saya, yang paling membuat saya lebih terbuka pikirannya cenderung ke grup atheis. Terus free thinker, agnostic, seperti itu,” kata Asa.

Asa menyebut dia dulunya seorang “bocah ndalil”. Pasalnya, dia kerap menceramahi orang di media sosial dan memarahi orang-orang di kolom komentar media sosial miliknya. Misalnya terkait jilbab, dia pernah menyebut orang yang tak memakai jilbab akan berada di neraka.

Namun, dia mengaku semua itu berubah setelah dia masuk dalam grup-grup tersebut. “Kemudian pada suatu ketika saya masuk grup-grup yang sama sekali berseberangan dengan saya dan di situlah saya tahu bahwa dunia itu tidak melulu sesempit pikiran saya. Dunia itu tidak sesempit pikiran kita,” ujarnya.

“Membuat kita sadar bahwa tidak semua di dunia itu sama kayak kita, itu bagus sih,” imbuhnya.

Di grup atheis yang diikutinya, Asa menerangkan, bahwa di situ banyak dibahas tentang ketuhanan dan agama. Menurutnya, dengan bergabung grup atheis bukan berarti dia menyetujui pemikiran mereka. “Begitu banyak orang yang punya pemikiran berseberangan dengan kita. Jadi kita beragama tidak kaku-kaku amat gitu lho. Jadi kita bukan cuma katak dalam tempurung,” kata Asa.

“Kita bisa membandingkan suatu masakan kalau kita sudah pernah mencicipi semuanya,” lanjutnya.

Dari internet pula Afi belajar memulai mengenal dunia pengembangan diri. Terkait hal itu, kepada gurunya dia pun mengaku pernah ikut pelatihan bertemakan vibrasi, ilmu pengembangan diri yang terkait dengan sains. Saat Kiblat.net menanyakan perihal pelatihan pengembangan diri itu, Asa tak banyak memberikan penjelasan. “Saya banyak ikut pelatihan juga. Paling jauh di Yogyakarta,” kata Afi.

Terkait adanya grup-grup atheis di dunia internet, Ketua MUI Banyuwangi KH Muhammad Yamin melihat hal itu sebagai konsekuensi globalisasi. Menurutnya, semestinya seseorang yang tak memiliki keimanan yang kuat tidak bergabung dalam grup tersebut. “Takut-takut kita nanti terombang-ambing,” katanya kepada Kiblat.net, Ahad (11/06).

“Sekarang kan banyak usaha-usaha pengikisan iman kita, dan itu usaha global. Mungkin Alqurannya tidak dijauhkan, tapi terhadap hukum-hukum Alquran dijauhkan. Misal menyamakan baiknya semua agama, padahal kan seharusnya tidak. Menurut pengikut mereka baik, tapi tidak bisa semua agama baik. Tapi agama saya yang paling baik. Usaha pluralisme itu kan dibelokkan ke sana,” terangnya.


Muhammad Yamin berpesan, sebagai seorang Muslim, pemikiran-pemikiran Asa yang menganggap semua agama benar harus diluruskan. Meski Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, mengakui adanya agama-agama lain, tetapi orang Islam harus meyakini agamanya yang paling benar.

“Monggo kita berpegang teguh pada ajaran kita, ajaran itu harus kita yakini dan keyakinan itu bisa terasa ketika keyakinan itu bisa bermanfaat untuk orang lain,” tandasnya.



Reporter: Imam Suroso
Editor: Fajar Shadiq
Sumber: kiblat

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Story of Afi Nihaya Faradisa: Bermain Api di Dunia Maya (Bag.2)"

Posting Komentar