Jokowi-Surya Paloh 'Duet Baru' 2019-2024?



SURYA Paloh pernah berucap bahwa dia tidak punya obsesi dan ambisi untuk masuk dalam lingkaran kekuasaan. Tetapi melalui media, ia ingin melakukan kontrol sosial agar jalannya sebuah pemerintahan lebih demokratis sesuai pakem demokrasi ala Indonesia.

Ucapan itu dikemukakannya ketika Surya Paloh baru berusia 30-an tahun.

Itu sebabnya sejak terjun dalam bisnis media, enerji yang digunakannya untuk membangun media, tak kunjung pupus. Semangatnya untuk menjadikan media sebagai alat perjuangan, tetap gigih dan konsisten.

Sikapnya yang memutuskan media harus bersikap, termasuk bersikap memihak, tidak netral, dia lakukan secara terang-terangan. Surya tidak peduli dengan tudingan bahwa media miliknya tidak melakukan liputan “cover both sides”.

Keteguhannya dalam prinsip menggunakan media untuk membela politik yang tak ingin bangsa keluar dari apa yang sudah digariskan oleh para pendiri bangsa, tak ada yang bisa menggoyahkannya.

Tahun 1987 harian “Proritas” yang didirikannya bersama sejumlah sahabat, dibreidel oleh penguasa. Pembreidelan tidak membuatnya patah semangat apalagi kapok. Lewat harian ini, Surya Paloh menyuarakan segala kerisauan dan uneg-unegnya dalam tajuk “Selamat Pagi Indonesia”.

Tahun 1988 dia membeli majalah “Vista” dari Achmad Thaufik - media yang sudah megap-megap. Berbagai usaha yang dilakukan oleh Menteri Penerangan Harmoko baik secara langsung atau meminjam tangan dua Dirjen Soekarno SH dan Dr. Janner Sinaga - supaya “Vista” bisa mati suri, dia lawan dengan berbagai cara. Surya akhirnya ‘menjual’ majalah tersebut ke PT Bimantara Citra, perusahaan milik Bambang Tri, putera Presiden Soeharto.

Tapi tahun 1989, Surya Paloh mengambil over suratkabar “Media Indonesia” dari Youslisyah yang secara keredaksian, sudah tak layak disebut sebagai media. Surya berhasil merestorasinya dan hingga kini harian tersebut menjadi salah satu pilar kekuatannya untuk menjalankan visi dan misinya yang dia tebarkan lebih dari 30 tahun lalu.

Ambisi dan obsesi Surya Paloh menjadi ‘raja media’, pernah diwujudkan dalam bentuk strategi besar.

Antara 1989-1992, Surya Paloh membeli atau mengontrol sejumah media daerah yang berada di Aceh, Medan, Palembang, Lampung, Bandung, Yogya, Banjarmasin, Manado dan Denpasar, di bawah induk perusahaan PT Surya Persindo.

Namun kondisi SDM serta kebijakan peerintah yang tidak kondusif, menghambat semua obsesinya tersebut. Sehingga dengan cepat, Surya menghentikan agendanya untuk menjadi ‘raja media’ setara dengan Jakob Oetama (Kompas) atau Ruppert Murdoch (Australia-Amerika).

Tahun 2000 ia mendirikan “Metro TV” dan di era broadcasting dan kebebasan ini benar-benar dimaksimmalkannya. “Metro TV” menjadi televisi swasta pertama yang ingin meniru konsep teve berita CNN (Amerika).

Ketidak tertarikannya menjadi bagian dari lingkar kekuasaan pada 30 tahun lalu itu, boleh jadi karena Surya sadar, sekalipun dia bagian dari rezim Orde Baru - pendiri dan Ketua Umum pertama Forum Komunikasi Putera Puteri Pernawirawan ABRI (FKPPI), kondisi zaman saat itu, tidak sesuai dengan hati nuraninya.

Tapi setelah Presiden Soeharto, lengser dari kekuasaan tahun 1998, pada tahun 2004, obsesi Surya Paloh berubah. Dia tergoda masuk dalam lingkar kekuasaan. Dia terjun ke persaingan memperebutkan kekuasaan - walaupun hal itu sama dengan keputusan yang bertentangan dengan apa yang diucapkannya tahun 1980-an.

Untuk itu ia ikut dalam konvensi Partai Golkar yang sedang mencari calon presiden dari partai Pohon Beringin itu untuk ikut kontestasi di Pemilu yang sistem pemilihannya untuk pertama kali dilakukan secara langsung. Namun di sini, dia gagal.
Bersama Akbar Tanjung (Ketua Umum DPP Golkar), Aburizal Bakrie (Pengusaha) dan Letjen (Prun) Prabowo Subanto, ia atau mereka disisihkan Wiranto, mantan Panglima TNI dan bekas ajudan Presiden Soeharto.

Sepuluh tahun setelah kegagalannya menjadi Presiden, Surya Paloh menjadi orang swasta pertama yang berani pasang badan untuk membela calon Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pembelaan Surya tentu saja mengherankan. Sebab secara individu, Jokowi bukanlah sahabat politik apalagi sahabat lamanya.

Jokowi juga bukan anggota Nasdem, partai yang didirikannya tahun 2013.

Disebut pasang badan, karena Jokowi sendiri ketika itu, terkesan agak kagok melihat Surya Paloh yang belum dia kenal secara dekat.

Selain itu di atas kertas pasangan Jokowi-JK berada dalam posisi yang belum cukup aman. Menghadapi koalisi partai-partai yang mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, Jokowi-JK, kurang memperoleh dukungan dari media-media main-stream.

Sebaliknya Surya Paloh sendirian menjadikan “Metro TV” dan “Media Indonesia” sebagai andalannya.

Kalaupun ada media main-stream lainnya yang ikut mendukung Jokowi-JK, tetapi sikap mereka tidak secara terbuka, cenderung malu-malu. Jadi Surya tetap merupakan seorang “lone ranger”.

Surya sendiri nampaknya cukup sadar bahwa keputusannya mendukung Jokowi-JK seperti seseorang yang sedang melawan arus dan menantang badai. Penuh resiko dan spekulatif. Diam-diam ada rasa khawatir yang sangat kuat dalam dirinya.

Terutama karena dia melihat sikap PDIP sebagai partai pemenang Pemilu Legislatif 2014, tidak cukup agresif ataupn ‘all out’ memberi dukungan kepada Jokowi-JK. Padahal seharusnya PDIP yang berada di barisan paling depan membela dan mendukung habis-habisan terhadap Jokowi sebagai kadernya.

Rasa khawatir Surya Paloh ini tercermin dari pertanyaannya kepada saya dalam sebuah pertemuan empat mata, menjelang Pilpres 9 Juli 2014, seusai Pemilu Legislatif 9 April 2014.

"Coba kau berikan dulu analisamu tentang Pilpres 2014. Ceritakan dulu sama aku pandanganmu sebagai wartawan senior", kata Surya tiba-tiba si Gedung DPP Nasdem, lantai V.

Yang mengejutkan, sebelum pertanyaannya saya jawab, Surya sudah terang-terangan menyatakan kekhawatirannya. Dalam bahasa yang lebih lugas, dia pesimis Jokowi-JK bisa menang.

Kedatangan saya ke kantor DPP Partai Nasdem sebetulnya untuk memberi tahu bahwa saya sudah merampungkan sebuah buku yang bercerita tentang kiprahnya dalam memperjuangkan penegakan demokrasi melalui kebebasan pers.

Dan saya berharap, buku itu diterbitkan pada 16 Juli 2014, bertepatan dengan hari jadinya yang ke 63.

Buku itu merupakan perspektif saya pribadi tentang dirinnya, yang bahan-bahannya didasarkan pada pengalaman sebagai anak buahnya selama 13 tahun (1986-1999). Penyusunannya tanpa wawancara dengannya sekalipun yang jadi sorotan adalah Surya Paloh sendiri.

Namun perhatian Surya bukan pada buku yang beri judul “Surya Paloh Melawan Arus Menantang Badai”. Dia lebih fokus pada Pilpres 2014. Dimana posisinya saat itu ibarat seorang petaruh yang sedang memasang taruhan pada joki yang akan bertanding di pacuan kuda.

Kalau “joki dan kuda” Jokowi-JK gagal, maka segala investasi dan perjuangannya di bidang politik, hancur total. Keinginannya melihat Indonesia sebuah negara demokratis dan pluralis - dimana Panca Sila tetap langgeng, hanya akan menjadi sebuah utopi.

"Coba kau berikan analisamu dulu tentang hasil Pilpres?", Surya Paloh kembali mengulangi pertanyaannya, setelah melalui bahasa tubuh, saya perlihatkan tidak tertarik membahas masalah yang bukan menjadi ekspertisku.

Alhasil, pembicaraan empat mata itu menghasilkan prediksi dan yang diinginkan Surya Paloh.

Semenjak kemenangan pasangan Jokowi-JK, Surya Paloh langsung tancap gas, dengan terus menempel Jokowi ataupun JK.

Yang paling mencolok, ketika di awal bulan Oktober 2014, Surya Paloh menemani Jokowi sebagai Presiden Terpilih, menemui Presiden SBY yang masih berkuasa. Dengan jet pribadinya, Surya menerbangkan Jokowi ke Bali-dimana saat itu SBY sedang berlibur di Nusa Dua.

Kalau tidak keliru, agenda utamannya adalah untuk melobi SBY agar bersedia mengubah APBN 2014, dengan cara menurunkan harga BBM. Sebab saat itu harga minyak mentah di pasaran dunia sudah turun secara drastis. Dari sekitar US$ 120,- per barel, turun hingga ke US$ 40,-.

Tanpa penurunan, tanpa kebijakan SBY, kritik terhadap pemerintahan baru, akan menjadi-jadi.

Sebab terjadi kontradiksi di mata awam bahwa harga minyak mentah di pasar dunia telah turun, namun harga BBM dalam negeri - di era Jokowi-JK, kok masih sangat tinggi.

Jokowi gagal meyakinkan Presiden SBY. Semenjak itu, Surya Paloh semakin intens menempel atau membantu Jokowi.

Tempelan atau bantuan Surya beralasan. Paloh seperti menangkap nuansa negatif. Dengan penolakan SBY di pertemuan di Bali itu, pemerintahan Jokowi - ke depan, akan menghadapi banyak tantangan.

Terutama dari segi pencitraan. Jokowi pasti kalah dengan SBY yang selama 10 tahun berhasil mengelolah pencitaraannya dengan baik.

Semenjak itu saya saksikan, SP semakin intensi menempel Jokowi. Walaupun dari dalam pemerintahan Jokowi, usaha Surya Paloh terus mendapatkan perlawanan secara halus.

Jokowi sendiri terlihat seperti masih agak ragu dengan berbagai upaya pendekatan secara konsisten oleh Surya Paloh.

Jokowi misalnya bersedia melakukan peletakkan batu pertama pembangunan pencakar langit gedung “Indonesia One” di jalan Thamrin, Jakarta Pusat pada 23 Mei 2015.

Tapi ketika 12 Agustus 2015 Jokowi melakukan perombakan kabinet, Laksamana Tedjo Edhy Purdjiatno dari Nasdem, partainya Surya Paloh, tergeser.

Sekalipun begitu, Surya tak menurunkan intensitasnya menempel atau melobi Presiden Jokowi. Ketika Jokowi menggelar acara sarapan, Surya Paloh menjadi salah seorang tamu khususnya di Istana.

Tapi lagi-lagi ketika Jokowi melakukan reshuffle pada pada 27 Juli 2016, Ferry Mursidan Baldan dari Nasdem tergeser dari kursi Menteri Agraria dan Tata Ruang.

Yang cukup menarik, pada 16 Juli 2016 atau sekitar 11 hari sebelumnya, Jokowi bersama Ferry masih hadir dalam pesta perayaan ulang tahun Surya Paloh di pulau pribadinya di Kepulauan Seribu, Jakarta Utara.

Tahun ini atau tepatnya hari ini, Minggu 16 Juli 2017 kembali Presiden Jokowi hadir di ulang tahun Surya Paloh sekaligus meresmikan Akademmi Bela Negara (ABN). Suasananya sudah lebih cair.

Dari penampilan, bahasa tubuh serta pidato Jokowi, bisa terbaca banyak hal. Tapi yang paling menonjol, nampaknya Jokowi sudah berhasil diyakinkan oleh Surya Paloh. Bahwa dialah sahabat politiknya saat ini yang bisa dia percayai dan andalkan.

Sehingga kalau pengamatan ini benar, sangat mungkin di Pilpres 2019, jika Jokowi akan maju sebagai petahana, Surya Paloh akan menjadi alternatif pilihannya. Mereka berduet. "Time will tell". [***]

Penulis adalah wartawan senior

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Jokowi-Surya Paloh 'Duet Baru' 2019-2024?"

Posting Komentar